http://ainayatin.blogspot.co.id/2016/05/secangkir-harapan.html |
Kulirik malas jam dindingku,”baru jam 4, ngaret sedikit mungkin tak
apa” batinku. Ponselku berdering, pasti dari mereka.
“Hei yang lain sudah ada
disini, bergegaslah” kata orang di seberang telfon
“Iya iya bersabarlah, sebentar lagi aku jalan. Sudah yah, kututup
telfonmu”.
***
Tak butuh waktu lama
untuk bergegas, aku pun berangkat menuju tempat yang dituju. Akhirnya aku tiba
di sebuah cafe sederhana namun terkesan unik. Dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan
indah dan beberapa ornament yang terbuat dari kayu. Kursi dan mejanya juga
berwarna coklat dan terbuat dari kayu. Selain itu di halaman belakang cafe
terdapat air mancur yang tak terlalu besar, dan lampu-lampu hias yang menambah
kesan romantis. Barangkali menyenangkan sekali menghabiskan waktu bersama
pasangan di cafe ini. Akhirnya meja yang kucari kutemukan juga. Benar saja,
mereka telah di sana, tertawa sambil sesekali saling mengejek dan meneguk kopi
masing-masing. Kuhela nafas berat, lalu coba menghampiri mereka.
***
“Jadi apa saja kesibukanmu, Jun?”
“Rani, beri sedikit waktu bagi Juna untuk bernafas, dia kelihatan
lelah sekali”.
“Hahaha kau taulah, setiap kita kopi bincang, Juna selalu saja datang
telat. Jadi jun sampai kapan kau kan memelihara kebiasaan jam karetmu?”
“Ayolah aku bahkan belum memesan kopi. Kalian ini geng macam apa?”
Lalu semuanya tertawa. Dan disinilah aku, ditemani tiga orang kawan
lebih tepatnya sahabat. Pertemuan ini kami namai “kopi bincang” iya, waktu itu Rani
yang mengusulkannya. Kopi bincang kami lakukan sebulan sekali bila ada waktu,
untuk saling bertemu dan menuntaskan rindu atau bahkan saling berbagi cerita
dan pastinya saling mengejek. Bukan geng masa SMP atau SMA, kami bahkan tak
saling menghafal nama SMP atau SMA, singkatnya kami bertemu saat penerimaan
mahasiswa baru di kampus kami. Aku yang selalu cuek secara tak sengaja
berkenalan dengan Rani dan Ari yang cukup cerewet dan tak sengaja pula mengenal
Aci lelaki super kalem yang akhirnya menjadi bagian dari kami. Rani dan Ari
jurusan tekhnik, aku sendiri adalah mahasiswa jurnalistik dan Aci adalah
mahasiswa ekonomi. Rani adalah satu-satunya perempuan di “geng” kami. Dan juga
satu-satunya orang yang paling cerewet dan paling mau tahu tentang apa saja
yang telah kami lakukan.
“Aci, jadi kamu diterima kerja di perusahaan yang tempo hari kamu
katakan?”
“Iya Rani, insya allah pekan depan sudah mulai kerja” jawab Aci
sekenanya.
“Wah selamat yah, jadi gaji pertamamu nanti kita akan di traktir di
cafe mana?” Goda Rani.
“Haha Rani, doakan saja kerjaan Aci lancar di sana” kataku.
“Juna kau sendiri bagaimana? Benar kau tak ingin mencoba peruntungan
untuk kedua kalinya?”.
“Hahaha sudahlah Ari, kurasa tak ada kali kedua dalam urusan pelik
seperti ini. Nyatanya aku menikmati hidup yang sekarang. Benar saja,
pengangguran mengajarkan kita banyak hal”
“Ayolah Jun, kau tak semestinya seperti itu. Baru ditolak seperti itu
saja kau sudah menyerah, memutuskan menutup diri” kata Ari, menambahi.
“tidak seperti itu Ari, maksudku saat ini aku hanya ingin menikmati
semuanya berjalan apa adanya. Aku hanya butuh waktu untuk memulihkan semuanya”
“Tidak Jun, Ari benar. Kau terlalu menutup diri, harusnya kau tak
menyerah begitu saja setelah ditolak menjadi wartawan di koran itu, seharusnya
kau harus menunjukkan bahwa mereka telah menyesal menolakmu, bukan dengan
seperti ini. Kau malah acuh tak acuh dengan hidupmu” cerocos Rani, panjang
lebar. Bagaimanapun hari ini misinya harus berjalan. Ada harapan yang coba ia
tanam kembali di hati Juna.
“Haha.. Rani, kau ini cerewet sekali. Kalian harus tahu aku tak pernah
percaya ungkapan tak ada hasil yang menghianati proses. Barang sedetik pun aku
tak pernah mempercayainya, semenjak kejadian itu.”
“Hei Juna, pikiran macam apa lagi yang telah meracuni pikiranmu”
timpal Aci yang hanya sesekali nimbrung pada percakapan, selebihnya ia hanya
senang menjadi pendengar ketiga kawannya.
“Ayolah Juna, kau ini terlalu idealis” tambah Ari
“Tidak. Justru aku ini realistis, orang-orang yang mempercayai
ungkapan hasil tak pernah mengkhianati proses adalah mereka yang terkungkung
dalam suatu kepastian yang sebenarnya tidak pasti. Mereka percaya bahwa
hasilnya akan membahagiakan padahal dalam hati mereka sibuk menerka apakah
benar mereka akan menuai hasil. Mereka sibuk meyakinkan hati bahwa inilah hasil
yang mereka dapat, padahal diam-diam mereka sibuk menghitung hasil yang
didapatkan orang lain yang tak begitu melakukan suatu proses. Aku percaya,
sesekali hasil juga pernah menghianati proses”.
“Sepertinya aku mulai larut dalam bincang ini. Juna silahkan lanjutkan
pendapatmu, aku penasaran apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan”.
“Baiklah Rani, tapi sepertinya kopi bincang kita hari ini menjadi
milikku sepenuhnya, aku sebenarnya tidak tahu apa yang sedang kalian
rencanakan, tapi baiklah biar kulanjutkan apa yang selama ini mengusik pikiranku.
Siapkan telinga kalian cerita ini cukup panjang” ungkap Juna lalu menyeruput
kopinya yang masih hangat dan lanjut menjelaskan.
“Bagiku, pelangi hanya ada dua warna. Hitam dan putih. Bahkan
sebenarnya hanya satu warna, abu-abu. Semuanya terasa tak lagi berwarna saat
kau tahu bahwa hidup ini kadang tak adil bahkan terkesan kejam padamu. Semuanya
terasa tak lagi berwarna saat kau tahu harapanmu justru menjadi cerita belaka
yang tak sejalan dengan apa yang terjadi. Semuanya terasa tak lagi berwarna.
Kosong. Rasanya kau hanya ingin mengisi hidupmu dengan rasa malas. Menjadikan
malas sebagai topeng untuk bersembunyi dari rasa kecewamu yang telah
dipermainkan oleh sistem yang sungguh tak menguntungkan semua pihak. Kau tahu,
saat menjalani tes pertama, para redaksi di koran itu mengatakan bahwa aku
cukup mumpuni untuk bergabung bersama mereka. Kalian harus tahu, saking
semangatnya aku mematuk alarmku sebelum subuh, bergegas mengikuti tahap dua
saat matahari belum terbit dan mencoba tersenyum pada siapa saja yang kutemui
di jalan saat menuju ke tempat itu. Aku sungguh bahagia. Mencoba berbaik sangka
pada semua yang terjadi. Mencoba memuji betapa indah seluruh warna pelangi,
seperti hidup yang juga cukup berwarna. Namun apa yang kudapatkan, setibaku di
sana, ada yang tidak beres. Mereka bahkan tak lagi ramah seperti sebelumnya.
Wajah mereka seperti telah melakukan kesalahan yang aku sendiri tidak tahu apa.
Namun terlepas dari itu semua sesekali mereka menyemangatiku, semoga kau
beruntung anak muda, itu saja yang mereka ucapkan. Hingga beberapa hari
kemudian aku tahu apa yang terjadi. Aku tak diterima. Dan setelah kutelusuri
yang diterima adalah salah satu keluarga dekat dari direktur koran tersebut dan
yang paling menohok hatiku adalah ketika aku tak sengaja mendengar salah satu
karyawan berucap bahwa dia hanya sedang beruntung. Hei bila begitu enak sekali
orang yang beruntung itu. Dia sama sekali tak ikut tes tahap satu namun bisa
beruntung lulus pada tes tahap dua. Jika memang begitu aku ingin menjadi malas
saja, aku ingin menjadi acuh saja, barangkali nanti aku juga akan beruntung.
Haha sudahlah tenggorokanku lelah bercerita, jadi apa solusi yang kalian
tawarkan untukku?” Kata Juna, sambil menyeruput kopi yang tersisa sedikit di
cangkirnya.
“Baiklah Juna, aku akan mencoba sedikit meluruskan fahammu. Tak ada
yang keliru ketika kau memilih untuk menjadi seperti itu, namun percayalah kau
ini telah salah meletakkan harapanmu”
“Jadi semestinya kuletakkan di mana?”
“Begini Juna, maaf Rani aku memotong sedikit” timpal Ari. Rani hanya
mengangguk mempersilakan.
“Juna, sepertinya kau salah meletakkan harapanmu. Kau telah meletakkan
harapanmu di pundak orang lain. Kau telah meletakkan harapanmu di pundakmu.
Yang semestinya tak menjadi tumpuanmu meletakkan sesuatu yang kita sebut
harapan. Singkat saja, harapanmu semestinya kau letakkan pada tangan tuhan.
Bukankah kau terus menyalahkan setiap hasil yang kau dapat? Padahal kau tahu
sendiri tuhan selalu menilai proses, bukan hasil. Kau lupa bahwa esensi berJunag
adalah ketika kau memperJunagkan, bukan ketika kau telah mendapatkan. Kau lupa
bahwa yang kita butuhkan adalah senantiasa bersyukur, bukan malah mengutuk. Kau
telah dibutakan oleh harapan yang telah kau gantung bukan kepada-nya. Kau lupa
bahwa selalu ada hikmah dibalik kejadian. Oke Rani silahkan lanjutkan haha”
“Haha terima kasih Ari kita macam sedang presentase saja, tapi
baiklah, Juna kau sepertinya lupa bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini. Kau
mungkin lupa bahwa tak ada orang sukses yang langsung kaya. Kau lupa bahwa kini
tuhan sedang menempamu. Tuhan sedang memberimu kesempatan untuk meningkatkan
potensi diri. Namun kau sama sekali telah dibutakan oleh berbagai macam
prasangka. Kau harus tahu, bagaimanapun kau mengingkArinya, toh kau selalu saja
berharap, bahkan saat kau sendiri tidak menyadari bahwa kau sedang berharap.
Ayolah, berubahlah. Aku rindu kau yang dulu. Bukan kau yang sekarang, yang
bahkan diajak kopi bincang saja malasnya kelewatan. Kau tak seharusnya bangun
terlalu siang, kau tak seharusnya mengabaikan seluruh puisi-puisi yang belum
jadi dan minta disempurnakan. Bahkan kau tak seharusnya terus bermalas-malasan
mengurung diri dalam kamar. Ayolah, hei, apa-apaan ini aku bahkan telah
menitikkan air mata hahaha.”
“Jadi apa yang harus kulakukan? Aku lupa menjadi diriku. Aku lupa. Apa
yang harus kulakukan?”
“Juna, bagiku selalu ada secangkir harapan. Sama seperti
pertemuan-pertemuan kita yang kadang berujung pada kekesalan dan saling ejek,
toh, selalu ada secangkir kopi lagi dan lagi di setiap kopi bincang kita.
Selalu ada cangkir-cangkir baru yang berisi harapan-harapan di setiap pertemuan
kita. Kau harus memulainya lagi. Koran itu tak boleh menjadi alasanmu untuk
menutup diri. Aku lelah melihatmu terus-terusan seperti mayat berjalan. Tanpa
harapan. Ini ada hadiah dari kami, kau buka saat telah sampai di kos barangkali
berguna untukmu. Dan ingat jangan berharap kami akan menjadi kawan yang selalu
ada untukmu, tapi mintalah kepada tuhan agar kami selalu menjadi kawan yang
senantiasa ada untukmu”
***
Dan itulah akhir pertemuanku dengan mereka sebelum kami sibuk bekerja
di luar kota. Aku tersenyum mengenang beberapa percakapan hangat yang selalu
tercipta saat bincang kopi. Aku berdiri mencoba menyeka air mata yang coba
menetes. Aku segera kembali bekerja untuk beberapa artikel yang dimuat besok.
Oh iya, kini aku bekerja sebagai salah satu editor di sebuah majalah yang cukup
terkenal. Pekerjaan ini aku dapatkan tempo hari di amplop yang Rani berikan,
ternyata ia telah merekomendasikanku kepada salah satu kawannya yang sedang
membutuhkan editor untuk majalah yang cukup terkenal dan ia sangat antusias
sangat mengetahui aku bersedia bergabung.
Mungkin benar, selalu ada secangkir harapan bagi siapa saja yang
menginginkannya. Aku lalu menyeruput sisa kopiku yang telah hangat. Yah.
Harapan. Kalau begini, aku tak sabar untuk bincang kopi esok hari. Barangkali
aka nada secangkir harapan lagi yang kutemukan dari mereka.
Lagi dan lagi.
Makassar,
21 oktober 2016
Teruntuk
siapa saja yang sedang lelah berharap
Penulis : Nur Anissa Fitri Syahrir
Angkatan
: 2015
Post a Comment