Jembatan sucinya terus ia bangun untuk menyempurnakan petak-petak yang sementara ia kokohkan dengan usaha dan doa menggapai mimpi.
***
Namanya Aisyan. Sosok wanita pemain syair yang mampu menghipnotis banyak
pasang mata yang sedang tertuju padanya. Ia adalah gadis pembawa obor
kemenangan dan memupuk mimpi sebanyak-banyaknya lalu diwujudkan dalam bingkai
keberhasilan. Ia tak habis pikir, mengapa masih ada orang yang takut membangun
mimpi. Bukankah mimpi itu gratis dan bisa dilakukan oleh siapa saja? Ah, betapa
sialnya orang-orang yang hanya mampu berharap namun nihil usaha.
Dari kegemarannya bermain syair, sehingga di sekolahnya ia unggul dalam
bidang seni. Seni yang merupakan perwujudan pertama menembus panggung-panggung
nasional bahkan internasional sekalipun. Tak hanya itu, dia juga menguasai
beberapa bahasa asing seperti inggris, arab, dan mandarin. Namun satu, ia tak
berpeluang menjadi seorang “Kalkulator Berjalan”. Kelemahannya di bidang
matematika tidak menyebabkan semangatnya surut. Ia ingin membuktikan bahwa seni
tidak akan membunuh harapan dan cita. Justru, semakin diasa maka semakin tajam
pula hasilnya.
Embun masih terlalu pagi menyapa. Butiran-butirannya entah mengapa jatuh
lebih indah dari biasanya. Satu telefon masuk dari salah satu guru Aisyan. Ia
memberi kabar bahwa Aisyan akan mewakili sekolahnya di tingkat provinsi untuk
sebuah event yang diadakan oleh forum kreativitas dalam hal ini bekerjasama
dengan KEMENDIKBUT (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) guna mencari
bibit-bibit unggul dalam cabang lomba baca puisi. Dari sekian banyak sekolah
yang ada di daerahnya, ia menjadi satu-satunya kandidat yang dimandatkan
langsung oleh bapak kepala dinas pendidikan. Bukan main, Aisyan langsung
kegirangan mengiyakan dan segera bergegas menuju ke sekolah untuk berlatih
semaksimal mungkin.
“Sedikit lagi mimpiku terbang ke tingkat nasional akan segera terwujud.
Ijabahlah Tuhan”. Gumamnya dalam hati.
Beberapa minggu kemudian...
Aisyan melangkahkan kaki dengan pasti. Membawa harapan orangtua, guru, dan
semua rekannya untuk memberikan hasil yang terbaik. Senyumnya sudah dipastikan
murni 100 % . Ia lalu memohon pengharapan dan restu kepada Tuhannya agar
segalanya dapat dimudahkan dan diberkahi.
Gerbang perlombaan sudah di depan mata. Para peserta sangat antusias dengan
acara yang spektakuler ini. 150 peserta telah siap menampilkan hasil
terbaiknya, termasuk Aisyan. Perasaan takut membelenggu pikirannya. Namun, ia
singkirkan segala ingkarnasi itu agar usahanya selama ini tidak berakhir pedih.
Suara menggema di sudut panggung pementasan. Ia mulai keringat dingin
karena nomor penampilannya akan segera disebut.
“Setelah ini aku. Mohon petunjuk-Mu, Yaa Allah”.
Mc mulai meraih mikrofonnya.
“Peserta dengan nomor penampilan 30 kepadanya dengan hormat disilakan”.
Begitu instruksi yang disampaikan oleh Mc. Itu menandakan bahwa ia telah
siap menampilkan yang terbaik.
Apa yang Berharga Dari Puisiku
Oleh : Wiji Thukul
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau adikku tak berangkat
sekolah
Karena belum membayar SPP
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau becak bapakku tiba-tiba
rusak
Jika nasi harus dibeli dengan
uang
Jika kami harus makan
Dan jika yang dimakan tidak ada?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau bapak bertengkar dengan ibu
Ibu menyalahkan bapak
Padahal becak-becak terdesak oleh
bis kota
Kalau bis kota lebih murah siapa
yang salah?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau ibu dijiret utang
Kalau tetangga dijiret utang?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau kami terdesak mendirikan
rumah
Di tanah-tanah pinggir selokan
Sementara harga tanah semakin
mahal
Kami tak mampu membeli
Salah siapa kalau kami tak mampu
beli tanah?
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau yang kutulis makan waktu
berbulan-bulan
Apa yang bisa kuberikan dalam
kemiskinan yang menjiret kami?
Apa yang telah kuberikan
Kalau penonton baca puisi
memberikan keplokan
Apa yang telah kuberikan
Apa yang telah kuberikan?
Tertegun sekaligus terpesona para penonton mendengar puisi yang dibacakan
oleh Aisyah. Mengingat Wiji Thukul
seorang penyair kerakyatan, dengan polos ia justru “meluruskan” bahwa dirinya
menulis puisi sama sekali bukan untuk membela rakyat. Ia menulis puisi karena
percaya bahwa puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan orang kecil.
Tepukan yang sangat gemuruh menggema di setiap barisan para juri dan
penonton. Ia lalu berlari memeluk
gurunya yang sedari tadi telah berlinang air mata.
“Baik. Tibalah kita dipenghujung acara. Pengumuman hasil perlombaan baca
puisi tingkat Provinsi Sulawesi Selatan akan segera dibacakan. Tentunya para
peserta berharap, nama mereka yang akan keluar sebagai pemenang dalam
perlombaan kali ini. Namun, bagi yang belum berhasil jangan berkecil hati.
Perjalanan kalian tidak sampai di sini. Masih banyak sayap-sayap keberhasilan
di luar sana yang menanti kalian. Do the best and you must get it your dreams!”. Seru mc dengan
semangat.
Seulas senyum nampak di wajah
Aisyan. Ia sudah tak sabar mendengarkan hasil yang akan dibacakan. Ia sangat
khawatir kalau-kalau namanya tidak masuk ke dalam daftar orang-orang yang
mengangkat piala.
Mc mulai mengumumkan para pemenang lomba baca puisi.
“Juara III Andrea Putra Hidayat dari SMA 5 Makassar”.
“Juara II Larasati Salsabiela dari MAN 1 Parepare”
“Dan, Inilah nama yang kita tunggu-tunggu. Akan bertarung di babak yang
lebih menantang lagi di ajang nasional yang akan diselenggarakan di DKI
Jakarta. Dan, yang keluar sebagai juara I kali ini adalah...
Aisyan Athirah dari Madrasah Aliyah Putri Barru”
Tangisnya pecah mendengar namanya berhasil meraih juara I. Ia lalu sujud
syukur dan memeluk gurunya dengan erat. Mimpinya mencapai tingkat nasional
bukan lagi harapan. Ia telah membuktikan bahwa keberhasilan juga milik para
seniman yang mempunyai segudang bidang kreativitas nan berbakat.
“Allahku. Terima kasih atas nikmat yang luar biasa ini”. Batinnya
Betapa ajaibnya kekuatan mimpi itu. terlepas dari keajaiban-keajaiban
sederhana, akhirnya mimpinya hanya antara kaki dan langit.
2 bulan kemudian...
Matahari pagi menyemburatkan sinar dari berbagai arah. Menelusup ke
celah-celah jendela yang menyilaukan pandangan. Jarum jam menunjukkan pukul
07.00 WITA. Ini adalah waktu lepas landas pesawat yang akan menerbangkannya
menuju Jakarta. Bandara Sultan Hasanuddin menjadi saksi bisu hari itu. ketika
roda pacu telah terpisah dengan landasan, babak pertempuran akan segera
dimulai.
***
“Aku telah berjuang sampai detik ini. Para peserta menunjukkan aksinya
dengan sempurna. Jika harapanku menjadi juara pertama belum bisa Engkau penuhi,
setidaknya jangan beratkan hatiku dengan kegundahan yang berlebih”. Pintanya membujuk Tuhan.
***
Hasil perlombaan akan segera dibacakan. Semua peserta tunduk pasrah dengan
harapan yang besar.
“Pada acara kali ini. Bapak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menyiapkan beasiswa pertukaran pelajar bagi peserta yang berhasil meraih juara
I. Jadi, berdoalah. Semoga nama Anda lah yang beruntung”. Kata bapak menteri.
“Aisyan Athirah berhasil menduduki juara III. Sungguh prestasi yang sangat
gemilang dari bumi Sulawesi Selatan. Berikan tepukan yang semangat kepada adik
kita”
Penulis : Hardiyanti Kamaluddin
Komunikasi dan Penyiaran Islam
Angkatan 2016
mantap
ReplyDelete