animasicantik.com


Aku Devi, kupikir dengan penampilanku yang dulu itu cukup baik. Ternyata tidak. Aku yang terbiasa dengan teman laki-laki, suka pulang malam, sampai lupa belajar dan suka membangkang perkataan orang tuaku. “ kamu itu anak perempuan, tidak pantas keluyuran sama laki-laki!, dasar anak tak tahu diri!” ucap ayahku yang cukup menampar hatiku. Dia yang kutahu selalu sabar menasehatiku, mulai hilang kesabaran. Dan malam ini puncak kemarahannya. Meski ayah tak jadi menampar wajahku karena tertahan oleh nenek, tapi aku tahu betul kesalnya beliau padaku. Ibu yang menyaksikan kejadian itu hanya mampu meneteskan air mata. Lidahnya kelu.

“Sudah pak”. Akhirnya terucap juga ucapan itu oleh ibu. Ia membelaku habis-habisan. Nenek juga membelaku. Aku sadar akan mereka yang terlalu sayang denganku. Mereka tak pernah memarahi meski aku membuat kesalahan. Aku selalu saja diberikan pengertian yang hanya membuatku semakin manja. “pergi dari rumah ini, saya tidak sudi punya anak seperti kamu!”ucap ayah geram.

Tak lama kemudian ayah kembali dan membawa serta pakaianku. Benar saja ia mengusirku. Aku berkali-kali meminta maaf. Namun ia tak menggubris. Ayah hanya berkacak pinggang kearahku. Sorotan matanya mengisyaratkan bahwa ia tak lagi sanggup menganggapku sebagai anaknya.

Aku merasa dibuang. Aku menyesali perbuatanku. Namun terlambat sudah. Ayah terlanjur marah dan kesal. Aku benar-benar pergi dari rumah. Meninggalkan kasih sayang yang tulus mereka berikan kepadaku. Titik-titik hangat membasahi wajahku. Setelah beberapa jam aku berjalan, tak satupun orang yang kutemui, aku mulai putus asa. Hampir saja aku berpikir untuk mengakhiri hidupku dengan melompat dari atas jembatan. Jalan basah karena seharian hujan mengguyur. Tak membuatku menyerah untuk terus berjalan sendirian. Aku mulai merasakan kepalaku pusing. Brukk...aku tergeletak. Aku tak tahu lagi bagaimana keadaanku selanjutnya.

Keesokan harinya, aku terbangun oleh cahaya dari jendela yang terbuka setengahnya. “dimana aku ini?” gumamku lirih. Kuamati sekitarku bukan lagi jalan basah, gelap, tak ada pemukiman. Tapi sebuah rumah tua yang mungkin tak ada lagi yang tinggal di sini. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan sesosok pria bertubuh tinggi, mungkin usianya tak jauh berbeda denganku. “ah, siapa kamu?, dan dimana saya sekarang?arghh” aku memegangi kepalaku dan berusaha bangun dan bersandar dibahu tempat tidur tua itu.”saya Arfan. Saya menemukan kamu tergeletak di bahu jalan. Jadi saya membawa kamu ke sini. Tenang, saya tidak bermaksud menyakiti kamu. Oh iya, ini rumah saya.” Jelasnya panjang lebar. Dari wajahnya benar tidak ada maksud jahat. Dan aku yakin kalau dia orang baik. Penampilannya saja seperti seorang “Ustadz”. Ia membolehkanku tinggal di sini. Rumah kecil sederhana. Namun aku melihat kebahagian yang terpancar jelas dari keluarga mereka. Meskipun sederhana, tetapi mereka tetap harmonis. Ayah dan ibunya juga baik padaku.

Suatu hari aku melihat mereka sedang melaksanakan shalat berjamaah. Aku tahu mereka memang hidup dalam agama Islam. Arfan selalu bercerita tentang agama Islam yang indah. Meski berasal dari keluarga beragama Islam, namun aku tak menemukan hal-hal berbau Islami di rumahku.

Aku salut dengan mereka yang hidup sederhana dan kadang kekurangan, tetapi tetap mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan pada mereka. Sepintas wajah ayah dan ibu membayangiku. Aku menyesali perbuatanku yang selalu menyakiti hati mereka. “ maafkan aku Ibu, Bapak”. Aku tertunduk menangis sesenggukan. Arfan yang melihatku, menghampiri dan menenangkanku. Bahuku terguncang. Arfan terus mengingatkanku. “sabar, semua ujian pasti akan berlalu, tapi ingat kamu harus merubah sikap dan perbuatan-perbuatan kamu”. Ujarnya pelan menasehatiku.

Aku menceritakan semua kesalahanku dan meminta sarannya. Akhirnya ia mengajakku menghadiri sebuah kajian rutin yang sering diikuti perempuan-perempuan di desa ini. Aku melihat mereka para muslimah saling merangkul. Mengingatkan dalam hal kebaikan. Aku terharu melihat mereka. Seperti sebuah keluarga kecil yang bahagia di bawah payung agama. Aku yang bisa disebut hanya Islam KTP, merasa sangat malu. Seakan bertuhan hanya sekadar status saja.

Ibunya Asraf meminjamkanku jilbab dan pakaian tertutup ini. “kau terlihat cantik memakai jilbab Nak” ujar beliau santun. Kelembutannya membuatku nyaman dan merasa menemukan ibu keduaku. Ia sesekali tersenyum melihatku bercermin dengan penampilan baruku. Tampak tertutup, namun terlihat lebih cantik dibanding penampilanku dulu yang kadang mengumbar aurat, berkumpul dengan teman laki-laki.
Usiaku sudah 19 tahun, dan aku harus berubah. Usiaku sudah cukup dewasa untuk memilih jalan terbaik.

Hari-hari berikutnya kulalui, dengan teman-teman baru, kegiatan baru dan semua yang berbau Islami. Aku juga belajar mengaji dari bapaknya Asraf. Kebetulan beliau adalah salah satu Ustadz di sini. Beliau dengan sabar mengajarkan banyak hal padaku. ia dengan sabar menuntunku yang tidak lancar membaca Al-Qur’an. Kitab suci yang sama sekali tak pernah kusentuh di rumah.

Meski terbata-bata, tetapi bapak dan ibunya Asraf senang melihatku mau belajar sedikit demi sedikit.
Angin sore menerpa lembut wajahku. Jilbabku ikut diayunkan lembut. Aku merasakan ketenangan. Pemandangan sore hari yang tak pernah kujumpai sebelumnya. Aku rindu ibu dan bapak. Begitu juga nenek. Aku khawatir dengan keadannya yang sering sakit-sakitan. Maklum saja ia sudah cukup renta. Aku rindu suasana rumah yang penuh kasih sayang. Terlalu rindu dengan mereka. Aku ingin selalu melihat senyum mereka.

Asraf mengagetkanku. “jangan menghayal sore-sore”.

“ tidak..aku hanya memikirkan keadaan rumah. Apakah ibu, bapak dan nenek baik-baik saja?”

“nggak mau pulang?”

Pertanyaan Asraf membuatku terhenyak. Apakah mereka akan menerimaku lagi. Setelah apa yang kuperbuat selama ini. “aku nggak yakin dengan itu”. Asraf terus menasehatiku. Bagaimana kamu bisa tahu mereka akan menolak kamu, sedangkan kamu belum mencobanya.

3 bulan kemudian. Asraf berinisiatif mengantarku pulang ke rumah. Cukup jauh perjalanan yang harus kami tempuh. Dengan naik motor membuatku cukup kelelahan, begitu juga Asraf. Keringat mengucur deras dari keningnya. Lelah berjam-jam di atas kendaraan membuat kami berkali-kali singgah untuk beristirahat.

ku tersenyum melihat wajah ibu dan bapak di teras rumah. Tapi, aku takut melangkahkan kakiku di rumah yang sudah jelas orang-orangnya tak menerimaku lagi. Bapak yang sedang membaca koran kaget melihatku. Ia memalingkan wajahnya kemudian. Aku merasa sangat sedih. Benar ia tak mau menerimaku lagi. Saat aku tertunduk tak mampu berkata-kata, ibu memeluk tubuhku erat. Ia menghambur ke arahku dan menangis sejadi-jadinya.

Aku tak kuasa menahan sedih. Ibu masih menerimaku. Tapi bapak?

“heii, untuk apa kau menyambut anak tak berguna itu. Sekarang malah sok alim. Dulu dia suka keluyuran tidak jelas.” Bentak ayah keras.

Ayah mencaci penampilan baruku. Aku tak tahan lagi. Aku berlari keluar ke taman. Menangis sendirian di sana. “untuk apa semua ini?, bukannya aku berubah agar bapak mau menerimaku lagi?”. Ayah nyata-nyata menolakku. Berkali-kali aku mencoba kembali ke rumah namun nihil. Ayah selalu menutup rapat-rapat pintu untukku. Rasa benciku semakin besar pada ayah. Inikah balasan dari hijrahku.

Asraf yang kutahu selalu ada untuk setiap keluh kesahku juga pergi. Pergi jauh meninggalkan aku yang banyak menaruh harap padanya. Berbulan-bulan tinggal di rumahnya, membuat rasa itu hadir. Rasa yang tak pernah salah dan bukan pada orang yang salah. Aku sadar terlalu banyak menaruh harapan yang ujungnya menyakitkan. Kepergiannya keluar negeri untuk melanjutkan kuliah dari beasiswa yang diterimanya. Tinggallah aku dan kedua orang tua Asraf.

Tak enak hati berlama-lama tinggal di rumah mereka, aku memutuskan untuk pindah dan mencari pekerjaan sendiri. Tidak mudah mencari lingkungan baru di kota yang orang-orangnya baik dan hangat menyambutku. Yang ada hanyalah cacian-cacian menyakitkan yang keluar dari mulut mereka. Karena sering pulang larut malam, aku digosipi macam-macam. “ehh si Devi pasti ada apa-apanya, buktinya saja dia suka pulang malam. Trus sering di antar cowok lagi.”

“iya, betul banget. Masa pakai jilbab tapi munafik”

“dasar orang kampung”

Sudah sering aku mendengar ungkapan-ungkapan tak mengenakkan dari mereka. Aku yang bekerja paruh waktu dan harus bekerja malam hari, membuat mereka terus mencaciku. Aku bekerja di sebuah kantor. Aku memang sering diantar oleh Raffi, teman kantorku. Ini semata-mata karena dikhawatirkan terjadi sesuatu padaku jika pulang sendirian sedang larut malam. Tapi mereka rupanya menafsirkan lain. Aku dianggap buruk dan tidak sesuai dengan penampilanku.

Setelah lelah mendengar ucapan meraka, aku memutuskan untuk melepas hijabku. Dengan dalih agar mereka tak menghinaku lagi. Aku mengmbil keputusan ini setelah memikirkannya matang-matang.
Raffi kerap kali mengajakku keluar. Jalan-jalan, makan, atau sekedar menonton. Sampai suatu hari aku bertemu bapak. “oh, sekarang kamu berubah lagi!” benar-benar memalukan. Untung saja saya sudah mengusirmu jauh-jauh. Bapak sangat marah melihatku. Tapi aku semakin tak menggubris perkataannya. Aku dan Raffi berlalu meninggalkannya.

Ini adalah pilihanku dan ternyata aku nyaman dengan kehidupan baruku. Aku tak lagi terpaku dengan aturan-aturan rumah, agama dan kata-kata buruk tetanggaku. Raffi sudah berjanji menikahiku. Ia menjanjikan rumah dan harta yang banyak.

Sampai pada hari dimana Raffi hendak mengucapkan janji di depan penghulu. Aku terus menunggu kedatangannya bersama rombongan keluarga dan kerabatanya. Meski tak ramai, tetapi aku bersyukur ada pria yang mau menikahiku dan bejanji membahagiakanku.

Berjam-jam berlalu, Raffi tak kunjung datang. Aku berkali-kali menghubungi nomornya. Namun tak ada satupun jawaban mengenai keberadaannya. Akhirnya semua tamu pulang. Tinggallah aku sendiri, meratapi nasibku. Kemanakah Raffi yang berjanji menikahiku.

Aku mendapat berita yang terlalu menyayat hatiku. Temanku melihat Raffi jalan dengan wanita lain. Mereka sangat mesra katanya. Lalu apa yang harus kuperbuat.

Memulainya dari mana, aku bingung untuk menjawab pertanyaan yang diajukan hati ini, padaku. Terlalu sulit mendeskripsikan perkenalan yang membawa pada jalan yang salah. Aku tak tahu. Dia yang kukenal ramah, baik dan mau bergaul dengan siapapun itu, nyatanya tak sesuai dengan apa yang kupikirkan. Dia ternyata buruk.

Aku kembali menemukan jalan buntu dari kisah hidupku yang suram. Kisah keluarga yang yang harmonis dan banyak memanjakanku, berubah jadi murka yang mengantarkanku pada kehidupan berikutnya. Kehidupan bahagia yang hanya sementara. Aku mengenal Asraf dengan baik. Tapi mengapa ia meninggalkanku. Kemudian kembali mengantarkanku pada Raffi yang merubah penampilan, sikap dan perilakuku kembali. Terlalu pahit untuk mengenang mereka. Dua sosok berbeda yang mengisi relung hatiku dengan cara mereka masing-masing.

Aku kembali terlunta-lunta oleh kesedihan yang mendalam. Kini aku tak punya siapapun yang mengerti keadaanku. Tak ada yang bisa merangkulku dan mengajakku pada jalan kebahagiaan lagi.

Aku memberanikan diri kembali ke rumah Asraf. Mereka menerimaku dengan hati lapang. Asraf yang baru kembali dari studinya di luar negeri, kaget melihat perubahanku. Ia merasakan kekecawaan yang teramat dalam. Sebulan di sini aku kembali pada jalan yang benar. Semoga aku yang hijrah untuk kedua kalinya ini, menemukan titik terang dari kehidupan gelap yang selalu menjeratku. Aku memutuskan untuk mengenakan jilbab lagi. “setiap manusia pernah berbuat salah dan dosa, In syaa Allah, Tuhan akan mengampuni hamba-Nya yang mau bertaubat”. Pesan dari ibunya Asraf selalu kutanamkan baik-baik dalam diriku.

Tanpa sepengetahuanku Asraf menemui orang tuaku dan membujuk mereka untuk menerimaku kembali ke dalam rumah mereka. Ia menyadarkan keduanya. Ia diam-diam meminangku dihadapan mereka. Sampai suatu hari janji itu diikrarkan dan nyata adanya. Bukan sebuah kebohongan belaka yang hanya menjebakku habis-habisan. Aku dan Asraf menjalani kehidupan baru yang begitu indah. Tuhan mempertemukanku pada orang yang tepat. Yang mau menerimaku apa adanya. Yang mau menuntuku kepada jannah-Nya. Terima kasih ibu, bapak, nenek, kedua mertuaku dan tentunya suamiku Asraf. Kalian hadir untukku. Menemani hidupku yang pasang surut.

Aku bahagia dengan hijrahku ini. Meski belum sepenuhnya baik, tapi aku ingin berubah. Dari hal-hal kecil hingga yang besar. Kini aku mengenal Tuhan, Rasul dan agamaku. Bukan hanya sekadar status palsu yang melakat pada diriku.

“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak” (QS. An-Nisaa/4: 100)

Penulis : Lisa Arifuddin
Mahasiswi KPI Angkatan 2017



Post a Comment

 
Top