“Aku
tidak berusaha menjadi lebih baik dari orang lain, tapi aku berusaha menjadi
lebih baik dari diriku yang dulu”
***
Riuh
suara tepuk-tangan ribuan undangan yang memadati Auditorium Kampus II UIN
Alauddin Makassar. Mengiringi parade para wisudawan terbaik UIN Periode 27
April 2016. Di antara 10 besar wisudawan terbaik itu, Maharani, S.Sos dari
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam berhasil mendapat peringkat terbaik kedua
dari 1.196 wisudawan. Dia memang tak mendapat peringkat I, tapi bayangan masa
lalu yang membuatnya terharu karena bisa membuktikan bahwa setiap orang bisa
berubah menjadi lebih baik.
Sebut
saja dia Rani, perempuan yang masa kecilnya seorang gadis yang nakal, malas, manja,
dan tidak pernah merasakan peringkat tiga besar. Sungguh Rani tidak menyangka
bisa selesai dalam waktu 3 tahun 4 bulan dengan IPK 3.99, nyaris sempurna. Rani
merasa bahwa tak ada yang spesial dalam dirinya jika dibandingkan dengan
wisudawan lainnya. Dia bisa lulus sebagai sarjana sosial dengan tepat waktu
saja sudah membuatnya sangat bahagia. Apalagi memegang predikat kedua terbaik
di universitas membuat Rani merengkuh bahagia berlipat. Dia mengucap syukur dalam
hati.
Rani
terus mencari dua sosok yang menjadi motivasinya selama ini. Apakah mereka
bangga? Apakah mereka senang? Bisiknya dalam hati.
Rani
tak lagi memperhatikan banyaknya sorotan kamera yang sedang mencari pose
terbaiknya. Matanya terus mencari-cari keberadaan mereka. Yah mereka, dua
malaikat tak bersayap sebagai madrasah terbaiknya. Setelah lama mencari,
akhirnya matanya tertuju pada wanita berkerudung merah yang sedang duduk di bagian
belakang yang selurus dengannya. Wanita itu terus menunduk sambil mengusap
butiran air mata yang mengalir di pipinya. Rani tersenyum, saat itu ingin
rasanya dia berlari ke arah wanita itu dan memeluknya. “Ah Mama,
kupersembahkan hadiah kecil ini dari anak nakalmu, maaf” Lirihnya.
Rani
masih menahan agar tangisnya tak pecah. Masih ada satu sosok lagi yang Rani
cari, tapi kali ini dia tak berhasil mendapatkannya.
Laki-laki
setengah baya yang Rani cari sedang duduk di Lantai 1 Auditorium. Setiap
tahunnya tamu undangan yang memasuki auditorium hanya diperbolehkan satu orang,
jadi laki-laki itu memilih tempat yang telah difasilitasi layar televisi agar
tetap bisa melihat para wisudawan, terkhusus anak bungsunya.
Laki-laki
itu melihat jelas wajah anak perempuannya di balik layar televisi. Terlihat pula
dia mengambil sapu tangan berwarna putih dari saku celananya, lalu perlahan mengusap
bulir air mata sebesar biji jagung yang jatuh di pipinya. “Anak kecilku yang
nakal” Batinnya.
Dia
tidak menyangka gadis kecilnya telah tumbuh dewasa. Dia memang tak bisa melihat
anaknya itu secara langsung, tapi perasaanya masih sama: BANGGA.
***
Rani
kecil memang tak secerdas kelima kakaknya yang selalu juara di kelas dan
menjadi kebanggan kedua orang tua mereka. Rani hanya anak perempuan yang rasa malasnya
ibarat penyakit kanker stadium empat. Peringkat yang Rani dapatkan di masa Sekolah
Dasar-pun tak pernah masuk sepuluh besar.
Sesuatu
yang telah menjadi tradisi dalam keluarga mereka adalah setiap yang mendapat
peringkat 10 besar akan mendapatkan hadiah apapun yang mereka inginkan, hal ini
dilakukan agar semangat belajar mereka semakin meningkat. Lain halnya dengan
Rani, dia tak pernah tergiur dengan hadiah yang ditawarkan oleh kedua orang
tuanya. Dia bertingkah semau hatinya, selama dia merasa nyaman, maka dia akan
terus bertindak sesuai keinginannya. Itulah mengapa di antara enam bersaudara hanya
Rani saja yang dari kelas 1 sampai selesai sekolah dasar yang tidak pernah
mendapatkan hadiah dari kedua orang tuanya.
Rani
kecil lebih suka dunia seni seperti puisi dan menari. Bahkan bakat menari yang
dia miliki sering membuatnya mengikuti berbagai perlombaan dan selalu
membuatnya juara satu. Sayangnya bukan itu yang diinginkan kedua orang tuanya. Hal
ini pulalah yang membuat Rani sedikit menanamkan rasa jengkel kepada orang
tuanya. Rani selalu merasa ditekan, merasa bahwa kasih sayang orang tuanya
hanya untuk kakaknya saja. Rani tidak pernah sadar bahwa semua yang dilakukan
kedua orang tuanya hanya untuk kebaikannya juga.
Kejengkelan
Rani semakin memuncak ketika dia dipaksa sekolah di Pondok Pesantren tempat ketiga
kakaknya bersekolah, dia merasa dibuang, orang tuanya tak menginginkannya.
“Kenapa aku harus ke pesantren? Kenapa bukan di SMP
dekat Rumah saja? Pasti mama dan bapak mau buang aku kan?”
Teriaknya sambil Terisak.
“Rani!! Jangan bicara seperti itu Sayang! Semua
kakakmu juga masuk pesantren. Kamu juga akan mendapatkan banyak teman.”
Bujuk mamanya dengan lembut.
“Itu kakak bukan Rani, mama dan bapak jahat! Kalian
hanya sayang sama kakak! Kalian tidak pernah memikirkan apa yang Rani inginkan!!!”
Rani berlari sambil membanting pintu kamarnya.
Sayangnya
Rani tak mampu mempertahankan keinginannya. Keputusan orang tuanya sudah bulat.
Rani harus masuk pesantren.
***
Hari
itu pun tiba. Waktunya Rani masuk pesantren. Kedua orang tua Rani yang langsung
mengantarnya masuk pesantren. Sepanjang perjalanan, Rani hanya bisa diam di
dalam mobil. Dia pasrah, dan kali ini tidak ada perlawanan kecuali tangisan.
Sesampai
di Pesantren, Rani langsung mencari keberadaan kamarnya, dia tidak lagi
memperhatikan kedua orang tuanya. Kekesalannya kepada keduanya sangatlah besar.
Mama
Rani juga tak kalah sedihnya ketika harus berpisah dengan anak bungsunya itu,
dia terus memeluk dan menciumnya. Selain itu, perasaan sedih juga dirasakan
oleh bapak Rani, tapi dia memilih diam dan menahan tangisnya. Dia sangat
menyayangi anak kecilnya, walaupun Rani tak pernah sadar dengan hal itu.
“Mama dan Bapak cepat pulang deh! Rani mau masuk
asrama, ndak usah sok nangis” gerutunya sambil membalikkan
badan.
“Rani, tidak boleh gitu. Mama sama bapak sayang
kamu Nak!” Jawab mamanya dengan terisak.
Rani
berbalik melihat keduanya, tiba-tiba tangisnya pecah lalu berlari meninggalkan
kedua orang tuanya tanpa ucapan selamat tinggal. Kedua orang tua Rani memilih
pulang, dan berdoa semoga anak bungsunya itu betah berada di Pesantren.
***
Ketiga
kakak Rani yang mondok di Pesantren yang sama dengannya dikenal sebagai anak
yang cerdas dan penghapal Al-qur’an. Hal ini pulalah yang membuat Rani semakin
tertekan dan merasa takut jika ternyata dia akan membuat keluarganya malu
karena kebodohannya. Rani mulai sadar bahwa dia tidak boleh kalah, dia tidak
perlu seperti kakaknya, tapi setidaknya dia tak dikenal sebagai santri yang
bodoh.
Rani
mulai menyadari kesalahannya selama ini, dia mulai meninggalkan kebiasaan
buruknya, kecerdasan kakaknyalah yang membuat dia termotivasi untuk berubah
menjadi sosok yang lebih baik lagi.
Satu
bulan berlalu, Rani sudah mulai berinteraksi dengan suasana pesantren. Dia
mulai terbiasa dengan teman-teman barunya. Banyak hal yang telah mengubah
dirinya. Rani mulai rajin belajar, menghafal Al-Qur’an dan Hadist. Tak ada lagi
Rani yang nakal, tak ada lagi Rani yang bodoh, dan tak ada lagi Rani yang
malas, yang ada hanya Rani yang cerdas, Rani yang baik, dan Rani yang aktif.
Sebulan
Rani berada di asrama, belum sekalipun dia dijenguk oleh mama dan bapaknya.
“Ma…!
Pa…! Rani Rindu!” Ucapnya sambil mengusap bulir air mata yang dari tadi
membasahi kerudung cantiknya.
Lama
Rani duduk diam sendiri dengan tatapan kosong di kursi depan kamarnya, berharap
kerinduannya bisa segera terobati. Dan tiba-tiba saja Rani melihat dua orang
sedang berjalan mendekat ke arahnya dari gerbang asrama. Selain dua orang
tersebut ada lima orang yang juga sangat
dicintainya ikut serta. Yah, mereka adalah kedua orang tua dan kelima kakaknya.
Percaya
tidak percaya, Rani masih memastikan penglihatannya bahwa kali ini dia tidak
menghayal, sesekali mengucek kedua matanya, Rani tersenyum. Itu benar meraka, orang-orang
tercintanya. Tanpa berpikir panjang dia berlari dan menjatuhkan pelukannya
kepada kedua orang tuanya. Dia menangis dan terus meminta maaf.
“Ma, Pa, maafkan
Rani”. sambil mencium tangan keduanya.
Rani
telah banyak berubah. Kini tiga besar selalu diraihnya, mengikuti berbagai
perlombaan tingkat kabupaten dan provinsi, serta dipercayakan menjadi ketua
OSIS di sekolahnya. Prestasi yang diraih terus Rani bawa sampai ke jenjang
Madrasah Aliyah dan dunia perkuliahan.
***
Pagi
itu, semua keluarga Rani berkumpul di ruang tamu rumah mereka untuk
membicarakan apa yang selanjutnya Rani harus lakukan. Setelah Rani menyandang
status sebagai Sarjana Sosial, beberapa tawaran pekerjaan mulai menghampirinya,
tawaran melanjutkan jenjang yang lebih tinggi juga tak kalah banyaknya, bahkan
lamaran dari beberapa lelaki pun menghampirinya. Kali ini kedua orang tua Rani
memberikan semua keputusan kepada Rani. Rani diberi kebebasan untuk memilih apa
yang dia inginkan.
“Nak…! Mama dan Bapak memberikan semua keputusan kepadamu.
Selanjutnya apa yang akan kamu lakukan?” Sambil mengusap
kepala anak kesayangannya itu.
Tiba-tiba
Rani menghela napas panjang sambil menunduk. Ada tangisan yang seakan sengaja
ditahan, sesekali dia mengangkat kepalanya dan melihat wajah kedua orang tua
dan kelima kakaknya. Lalu Rani memilih menunduk lagi. Dengan gugup dan suara
yag terbata-bata Rani menjawab.
“ Bismillahirrahmaanirrahiim. Ma… Pa…, Rani
mau menikah!” Akhirnya tangisan yang tertahan itu dikeluarkan juga.
Spontan
semua yang berada di ruangan itu kaget dan langsung menatap Rani tajam. Tak ada
yang merespon jawabannya. Dan kembali Rani melanjutkan pembicaraannya.
“Rani tahu, kalian pasti tidak percaya, tapi inilah
yang Rani inginkan. Selama tiga tahun terakhir ini, Rani kuliah harus mengalami
banyak rintangan. Fitnah seorang wanita terhadap laki-laki itu sangat besar.
Rani harus ketakutan ketika berjalan sendiri melewati kerumunan laki-laki. Rani
takut ketika tiba-tiba seorang laki-laki meneror Rani lewat telephon. Rani
takut, Ma… Pa.... Rani merasa menikah adalah solusinya. Menikah sudah menjadi
kebutuhan buat Rani, agar ada seseorang yang bisa melindungi Rani.” Rani
terus mengusap air matanya yang sedari tadi jatuh membasahi kerudungnya.
Tiba-tiba
bapak Rani berdiri dan membentak Rani.
“Tidaaakkk, kamu masih muda, kamu harus
lanjut kuliah dan kerja”. Bapak Rani berjalan memasuki kamar sambil
membanting pintu.
Rani
tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya, dia langsung berlari keluar
rumah. Mama Rani mencoba menahannya tapi tidak berhasil. Rani terus menangis
dan tidak menyadari Sebuah mobil dari arah kanan melaju kencang. Rani terus
berlari tanpa memperhatikan sekelilingnya.
“Piiiiiiiippppp…!.
Bruuukkkkkk…! tubuh Rani terhempas lima meter dari lokasi kejadian. Mobil yang
menabraknya langsung kabur. Spontan semua orang yang berada di sana berlari
menyelamatkan Rani. Tak kalah kagetnya mama, bapak, dan kakak Rani keluar rumah
dan melihat banyak orang yang mengerumuni jasad seorang perempuan yang mirip
dengan Rani. Mereka berlari memastikan bahwa itu bukanlah Rani, betapa kagetnya
mereka ketika melihat perempuan berkecamata itu telah berlumuran darah. Yah benar
saja itu adalah Rani, dia telah menjadi korban tabrak lari.
Bapak
Rani langsung mengangkat kepala anak bungsunya itu dan membaringkannya diatas
pangkuannya. Dia masih tak percaya, dan menyesali telah membentak anaknya itu.
“Rani,
bertahan Nak, bapak minta maaf” Bapak Rani terus menangis sambil menggoyngkan
tubuh anaknya itu.
Suara
tangisan terdengar jelas, Rani masih sempat membuka matanya dan memegang tangan
orang tuanya sambil berkata dengan terengah engah:
“Ma… Pa… Kak…! Andaikan bukan karena cinta, Rani tidak
akan bertahan sejauh ini. Maafkan Rani belum bisa membuat kalian bangga.”
Suara syahadat terdengar terbata-bata dari mulut
Rani.
“Asyhadu Allaa Ilaaha
Illallah, Wa Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah”
Mata sendu itu perlahan redup, tertutup. Sejuta
malaikat, serumpun bidadari berdoa takzim lalu mengucap selamat datang pada
Rani yang menuju Tuhannya. Beberapa pasang mata sembab, tumpah ruah air mata
sebab sepenggal kisah cinta telah berlalu. Tuhan punya cara untuk mengukir
kisah cinta.
***
Penulis
Bernama Sulaiha Sulaiman Alumni Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Alauddin
Makassar Angkatan 2012. Penulis sekarang menjadi Mahasiswa Pascasarjana STAIN
Pare Pare Sulawesi Selatan pada Jurusan yang sama. Penulis memiliki Hobbi
membaca dan menulis. Sesuatu yang menjadi motivasi penulis bahwa belajar adalah
petualangan yang tak pernah berakhir, maka selalu tanamkan untuk kerja keras,
kerja cerdas, dan kerja ikhlas.
Penulis : Sulaiha Sulaiman
Post a Comment